Monday, March 21, 2016

Menyusuri Free Range Wildlife Taman Safari

Seorang anak memberi wortel kepada rusa
Percaya atau tidak, ini pertama kalinya saya pergi ke Taman Safari. Iya, di usia saya yang ke 30 tahun ini. Memang sih, saya besar di Jogja, jadi objek wisata di luar kota menjadi tidak terjamah. Kalaupun iya, pilihan pasti jatuh ke Dufan dan sejenisnya mengingat Taman Safari lebih cocok untuk anak-anak. Karena sekarang saya punya anak balita, maka saya mendadak terobsesi dengan semua objek wisata yang bisa membuat anak saya super happy berada disana, hehe..

Setelah membulatkan tekad untuk mengunjungi Taman Safari, (yang artinya menyisihkan budget Rp 150.000 dikali tiga) kami pun memilih hari Sabtu di awal bulan dan berangkat jam 8.30. Biasanya, kalau mau ke arah Bogor atau Puncak, jam 9 ke bawah masih aman dari macet. Sayangnya, kami salah memilih rute melalui kota Bogor dan menghabiskan tiga jam lebih untuk sampai ke lokasi. Sementara itu, pulangnya kami hanya membutuhkan 1,5 jam melalui jalur berbeda.

Gerbang masuk jalur safari mobil
Sampai di Taman Safari, Aksa yang memang sedang gandrung-gandrungnya dengan segala jenis hewan langsung tidak berkedip memandang patung-patung hewan di gerbang masuk dan loket, plus berteriak-teriak heboh. Setelah membayar dan mendapatkan tanda masuk serta brosur merangkap peta, kami pun mulai memasuki jalur safari/free range wildlife. Jalur ini mengingatkan saya pada film Jurrasic Park, dengan gerbang kayu dan sungai yang membelah jalan. Mobil pun berjalan pelan, cukup banyak mobil yang beriringan bersama kami.

Akhirnya, muncullah rusa-rusa yang cantik (they are!) dan Aksa pun mulai heboh memanggil rusa. Kaca mobil pun kami buka agar bisa melihat hewan tersebut dengan lebih jelas. Saya melihat mobil-mobil lain menyorongkan seikat wortel kepada rusa-rusa tersebut. Olala, ternyata deretan penjual wortel di jalan masuk Taman Safari itu untuk makanan hewan toh, saya hampir saja membeli untuk dimasak di rumah karena saya kira daerah itu merupakan penghasil wortel, haha..

Hello boy, can I help you? (Combo hemat 2 ya rusa :p )
Sambil menyusuri jalan, kami memicingkan mata untuk melihat hewan berikutnya karena terkadang mereka berwarna gelap dan sedang tidur atau berada di balik semak. Gajah, unta, dan jerapah langsung jelas terlihat sedangkan tapir babi rusa jumlahnya lebih sedikit. Binatang yang disebut belakangan memang less popular di kalangan anak-anak dan buku cerita, sehingga ketika anak bertanya itu apa, saya dan suami harus berpikir sejenak (lalu melihat peta, dan celingukan mencari sign board) baru berkata “Ooooh...itu tapir!”Ah, andai saja masih jamannya RPAL & Buku Pintar...

Satu hewan yang menurut saya sangat mengesankan adalah zebra. Baru kali ini saya melihat dengan sangat nyata motif garis di tubuh zebra: luar biasa mulus, dengan hitam putih yang bold, dan masya Alloh pokoknya..cantikkk sekali. Oya, salah satu zebra sempat hampir memasukkan moncongnya ke jendela dan sukses meninggalkan beberapa mili air liur. Aksa yang tadinya pede meletakkan dagunya di kaca jendela pun sontak mundur, haha.. Si zebra dan teman-temannya pun melenggang dengan santai di antara mobil-mobil, termasuk berhenti sejenak hingga suami harus benting setir ke kiri karena sang hewan tidak kunjung beranjak dari posisinya. Hhhh...

Kami yang menjadi tamu, so kami yang mengalah...
Mulusss...
Tampaknya si ayah sedikit takut...
Memasuki area hewan buas, terlihat cukup banyak papan peringatan untuk tidak membuka jendela apalagi turun dari mobil. Saya sedikit penasaran, kenapa setiap sign board tertulis dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Arab? Biasanya bahasa yang ketiga adalah bahasa Mandarin. Nanti kita cari tahu ya.

Bahasa Arab di sign board
Tidak semua hewan buas langsung menampakkan diri, namun harimau bengal dan beruang merupakan yang langsung terlihat begitu kita memasuki daerah mereka. They are really big, dan sama seperti kekaguman saya pada kulit zebra, motif harimau juga sangat cantik dan seperti tiga dimensi. Mereka sedang bersantai di bangunan yang menyerupai beranda tetapi sangat teduh karena pepohonannya ekstra banyak. Sementara itu, puma bertengger di puncak bukit dan tersamar oleh warna alam, namun masih terlihat walaupun kami berada sekitar 25 meter didepannya. 

Kudanil dengan bangga memperlihatkan giginya...
Sungai jernih yang melintasi jalan
Menjelang akhir perjalanan, kami disambut oleh sungai yang mengalir melewati jalan, dengan air yang sangat jernih. Di salah satu aliran air, terdapat seekor kudanil dengan seorang pawang. Luckily, kami diizinkan mendekatkan mobil dan melihat si kudanil membuka mulutnya dengan sangat lebar sehingga terlihatlah giginya yang tumpul dan jarang. Persis seperti di buku.


Finally, we finish the safari and ready for the next part: amusement park.

Sunday, March 20, 2016

Experiencing The Magical Solar Eclipse



A lot of teachers in my school felt a bit disappointed when they had to sacrifice their holiday on March 9. The school had planned a big event since a month before to experience the solar eclipse. The teachers along with grade 5,6,7 students should spend a night at school to observe the stars and planets using a telescope, continued by witnessing the partial solar eclipse.

I didn’t really get the excitement but I planned to at least do eclipse prayer (solat gerhana). A day before, all students should decorate their eclipse glasses which they bought for Rp 20.000 each. Surprisingly, they were really prepared since most of them brought glitter, templates, flanel, etc. The result was really great! After decorating, each class took picture together with their glasses on.

The teachers came home earlier that day and returned to school at night to sleepover, but I slept at home since I had a toddler. The students watched a movie about solar eclipse and two students from ITB who studied astronomy explained some facts about the sun and the eclipse. So far, they enjoyed the event.
Use and ex X-ray film, why not?
In the morning, I rode my motorcycle at 6 to school under the bright sky. Arriving at school, the sky got brighter and almost all students, some parents, and teachers were gathering beside the school yard where the sun was clearly seen. I wore my eclipse glasses and subhanalloh...I saw a bitten sun! It’s like Apple icon but it’s circle in shape. Soooo beautiful. The situation was like 4 pm where the sun is usually shining bright and its position is almost touching the horizon.

Some people lined up for the telescope, while others captured this rare moment with their cameras and gadgets. Some teachers spiritfully took lots of pictures becausethere was a photo competition using cellphones (in which I joined also). I haven’t taken pictures for photography purpose for quite a long time, so I feel the excitement. It’s like going back to campus life haha..


Line up for the telescope
Around 7.30 -if I’m not mistaken- when the sun was only a half in size, suddenly the temperature dropped. The skies went darker. I could feel the breeze. It’s really magical. Since we didn’t experience the total eclipse, so the situation was like maghrib. All of us went back to school to pray on the field and when the prayer was almost done, the sun showed up again. It was back to bright shiny sky.

Look at the son with a cardbox decorated glasses. So creative!
I feel so grateful to have experienced the solar eclipse and I appreciated the school team who brought up the sudden event because it turned out to be memorable. I also feel lucky to still be able to see the eclipse because it doesn’t come every year, or every ten years.  Alhamdulillah.

This post was a part of English Friday Challenge by BEC

I like these pics that were taken by my colleagues:





Sunday, March 13, 2016

Mandirinya Anak-anak Jepang (OISCA Story Part 2)

Masih tentang kunjungan saya ke OISCA Kindergarten..

Selain disiplin dan keteraturan yang saya kagumi dari anak-anak Jepang tersebut, pemilik sekolah juga sedikit banyak menceritakan tentang konsep pendidikan di sana. Pertama, manusia berasal dari tanah dan nantinya akan kembali ke tanah juga. Sehingga, mereka diajak untuk berinteraksi sedekat mungkin dengan alam. Wujud konkritnya seperti belajar menanam tanaman sendiri (di kebun mereka terdapat jagung, wortel, dan...padi!), memberi makan kambing (yang dilepas begitu saja dengan gembala yang berdiri beberapa meter di belakang kambing), berenang seminggu tiga kali (yeayyy, really like this!), serta pantang menyisakan makanan.

Untuk usia TK (4-6 tahun) saya rasa wajar mulai mendidik untuk menghabiskan makanan, tetapi usia playgroup yang 3 tahunan, saya sendiri di kelas merasa kesulitan plus tidak tega. Menurut Pak Dicky, anak-anak dipahamkan sejak awal untuk menghargai makanan karena “makanan ini pemberian Tuhan dan orangtua sudah susah-susah memasaknya, jadi kita harus menghargai”. So, sampai sekarang anak-anak selalu menghabiskan makanan. Kalau dipikir-pikir, mungkin ada faktor pendukung juga seperti orangtua harus menyesuaikan porsi anak dan lunch time yang dilakukan bersama-sama satu sekolahan, sehingga anak yang lebih muda mencontoh anak yang lebih tua.

Display di dinding yang dominan gambar dan hiasan 
Loker siswa yang detil: ada peg untuk menggantung ransel, untuk tas makan, pakaian ganti, topi, dsb
Konsep kedua, anak di bawah tujuh tahun dibiarkan bebas bereksplorasi agar timbul rasa ingin tahunya. Inilah mengapa dekorasi di OISCA sangat minim tulisan, apalagi belajar alfabet. Tidak ada..! Dengan tidak adanya tulisan (umumnya hanya gambar), anak diajak untuk bertanya tentang gambar tersebut. Karena sama sekali tidak mengenalkan huruf dan calistung, otomatis kegiatan mengerjakan worksheet atau LKS pun tidak ada. Kelak, ketika anak sudah berusia tujuh tahun barulah mereka diajarkan materi yang berupa pelajaran.

Sandbox yang benar-benar bersih (padahal outdoor) dengan tepian kayu yang nyaman untuk duduk
Konsep ketiga, kemandirian. Delapan puluh persen murid di sana menggunakan mobil antar jemput, termasuk murid playgroup sekalipun. Tidak boleh ada baby sitter ataupun keluarga yang menunggui bahkan di awal tahu ajaran. Wuih, ketat juga ya peraturannya. Kalau saya jadi wali murid, sudah pasti saya nangis bombai melihat anak saya menangis naik mobil jemputan, haha.. Katanya sih, biasanya anak-anak membutuhkan seminggu untuk akhirnya bisa berani ke sekolah sendiri. Begitu juga ketika makan, rata-rata anak yang belum bisa makan hanya perlu dibantu selama seminggu dan setelah itu bisa makan sendiri. Kalau makanannya berceceran? Ya dibersihkan sendiri. Tersedia lap kotor untuk masing-masing anak, dan lap tersebut digantung rapi layaknya lap cuci tangan.

Hanger untuk handuk cuci tangan
Oya, saat saya berkunjung ke sana, kebetulan ada jadwal berenang untuk kelas TK B. Mereka pun bisa memakai baju renang sendiri dan memakai handuk sendiri, tanpa bantuan. Guru yang mengajar pun hanya satu. Bagaimana cara mereka bilas? Beramai-ramai mereka disemprot pakai selang oleh pak guru, saudara-saudara, haha... Sounds cruel? Not at all if you see it yourself. Setelah itu mereka berjalan ke dalam sekolah untuk berganti pakaian.

Meskipun saya hanya berada di sana sekitar dua jam, saya sudah mampu mengambil kesimpulan bagaimana anak-anak di Jepang dididik dan dibesarkan. Disiplin, mandiri, teratur, dan sangat berpegang pada nilai-nilai yang mereka anut. Saya juga serasa berada di dalam dorama melihat mereka semua bercakap-cakap dalam bahasa Jepang dengan segala bahasa tubuh dan kebiasaannya, hehe.. Yang terakhir, mereka sangat higienis. Kami harus memakai sandal dalam ruangan saat masuk ke kelas. Sikat gigi mereka pun diletakkan dalam wadah bekas yakult. Selain memenuhi unsur reuse, yakult juga mengandung bakteri baik. Masing-masing anak memiliki handuk tangannya sendiri, sehingga meminimalisir penularan penyakit.

Sandal dalam ruangan yang berjajar rapi
Area sikat gigi. Kelihatan tidak botol yakultnya?
Toilet anak berukuran mini. Semua sudah tidak ada yang pakai popok lho..
I really hope that one day, our children can be as discipline as them, without losing our values. As parents, it is really important that we have the same concept with our kid’s teachers. It is easier for our child to adopt values that are taught at school and at home. Misal, kalau di sekolah buang sampah di tempatnya tetapi keluarganya tidak menerapkan hal yang sama, bisa ditebak kan akhirnya bagaimana? So, we need to keep learning and be consistent karena proses mendidik anak itu benar-benar sesuatu yang terus menerus. Pada akhirnya nanti kita sendiri yang akan merasakan hasilnya.



Saturday, March 12, 2016

Disiplinnya Anak-anak Jepang (OISCA Story Part 1)


Saya belum pernah ke Jepang, tetapi akhir bulan lalu saya benar-benar merasa ada di Jepang. Dalam studi banding tersebut, saya dan rekan kerja berkunjung ke sebuah taman kanak-kanak bernama OISCA. Sekolah ini merupakan bagian dari salan satu organisasi nirlaba di Jepang yang bernama sama, dan bergerak di bidang lingkungan dan pertanian.

Sekolah ini baru berdiri dua tahun lalu di Indonesia dengan mengontrak sebuah bangunan di Menteng. Ukurannya tidak begitu besar, hanya terdiri dari tiga ruang kelas untuk siswa playgroup sampai TK besar yang seluruhnya berjumlah 50 anak. Oya, anak-anak yang bersekolah di sini adalah warga negara Jepang yang orang tuanya bekerja di Indonesia. Gurunya pun sebagian besar merupakan voluntir OISCA dari Jepang yang bersedia tinggal dan mengajar di Indonesia.

Saat turun dari minibus, saya langsung melihat perosotan yang besar sekali berbentuk gajah. Sungguh lucu! Di halaman parkir itu pula ada sebuah kolam renang yang dibawa jauh-jauh dari Jepang beserta dua tank penyaring air alias filter sehingga air yang dipakai berenang memiliki tingkat pH yang seimbang dan berefek menyegarkan. Di lahan terbatas tersebut pula, terdapat sepetak kebun yang ditanami jagung, tomat, wortel oleh murid-murid OISCA sendiri, serta bukit dan sungai buatan, bangku dari pohon tua yang tumbuh di lahan tersebut, serta ayunan yang menggantung di dahan pohon. It is so cool that this green area is surrounded by tall buildings, yang membuat saya berpikir bahwa menghijaukan lingkungan kita tidak membutuhkan lahan yang super luas –asal kita mau.

Sungai buatan dan mini garden
Tanaman wortel
Oke, yang lebih cool lagi menurut saya adalah what happened inside. Ketika kami diijinkan masuk ke dalam gedung sekolah (yang lebih menyerupai rumah tinggal yang disulap menjadi kelas-kelas), pemandangan yang kami lihat adalah anak-anak balita yang sedang bermain di dalam ruangan, dimana sebagian besar dari mereka sedang “berolahraga”. Jadi, ibu guru membantu setiap murid untuk berputar (rolling) di atas sejenis monkey bar setinggi pinggang dewasa sementara sisanya melompati kuda-kuda alias horse bench (yang ini mengingatkan saya pada komik Jepang). Ketika setiap anak ingin melompati kuda-kuda, mereka pun tanpa diminta membuat antrian..! I was soooo amazed.. Melihat anak-anak 5 tahunan mengantri secara otomatis itu menurut saya sesuatu banget, banget. Alhamdulillah kelas playgroup saya sudah bisa mengantri cuci tangan tanpa diingatkan, tetapi masih ada beberapa anak yang kadang lupa, hehe.. It’s a process J

Monkey bar dan horse bench yang saya maksud
Buku absensi supercute dengan kantong tempat buku di background
Jadi, menurut Pak Dicky yang juga salah satu pemilik sekolah ini, aktivitas pagi hari memang berupa olahraga plus free play selama satu jam, setelah sebelumnya berbaris rapi dan berdoa bersama. Ada benarnya juga sih karena dengan puas bergerak dulu, anak-anak bisa menyalurkan energinya dan setelah itu bisa beraktivitas di kelas dengan lebih tenang. When time’s up, they cleaned up really fast. Kebetulan saat itu saya sedang masuk ke salah satu kelas, dan beberapa murid menunjukkan pada saya buku absensi mereka yang berupa stiker-stiker lucu. I didn’t understand their language but I could feel their enthusiasm. Begitu saya keluar kelas, area bermain yang tadinya penuh alat sudah sangat rapi, tanpa saya mendengar suara guru yang berteriak ataupun membujuk, meminta anak untuk tidy up. Hmmm...

Rak sepatu kolom atas untuk sandal dalam ruangan, kolom bawah untuk sepatu 
Acara berikutnya adalah materi di kelas. Kami berkesempatan melihat salah satu kelas TK selama 15 menit. Semua murid duduk di lantai, mengikuti guru mereka yang bernyanyi sembari duduk di kursi. Setelah selesai satu lagu, sang guru pun mengambil posisi di belakang keyboard dan mulai memainkan intro sebuah lagu. Serentak, anak-anak tersebut berdiri dalam barisan dan mulai bernyanyi. Ketika saya bilang serentak itu benar-benar serentak dalam arti sebenarnya ya, tanpa ada yang masih duduk, atau malah berlari ke sudut lain, maupun bercanda dengan teman. Saya dan rekan-rekan masih penasaran, guru-guru di sini effortlessly meminta anak melakukan sesuatu. Anak-anak pun rapi, teratur, dan disiplin tanpa terlihat seperti robot. Wajah mereka tetap ceria. Apakah di rumah anak-anak tersebut juga sepatuh itu terhadap orangtuanya ya? Hehe..


(to be continued)