Saturday, March 11, 2017

Review: dr.Ariesta, Sp.OG


Saat tahu saya mengandung lagi, pikiran pertama saya adalah, nanti melahirkan dimana ya? Sama dokter siapa? Yang terpikir adalah mencari dokter kandungan yang tidak sesibuk dr.Yasmini, karena beliau gagal mendampingi kelahiran anak pertama saya. Tanya kanan kiri, saya mendapat beberapa options, seperti dr.Upik di Sadewa karena komunikatif, dr.Enny di JIH yang penjelasannya detil, sampai dr.Dyah Rumekti di Adinda dan Sardjito.

Karena bayangan saya adalah melahirkan di RS Sadewa atau setara, maka yang di JIH saya coret. Adinda terletak di Jogja Barat sementara saya di utara, akhirnya saya coret juga. Berarti tinggal dr.Upik donk, sementara beliau pernah salah mendiagnosis saya. Dalam kebingungan, saya sempat hampir kembali ke dr.Yasmini hingga seorang teman habis bersalin dengan dr.Ariesta di Sadewa. Saya pernah sekali kontrol pasca kuret dengan beliau tetapi tidak di periksa dalam (though I thought she should’ve done that) jadi kurang puas.

Kebetulan sekali, praktek dr.Upik dan dr.Yasmini kok malam, sementara suami kerjanya dari siang sampai malam. Lihat-lihat kolom jadwal dokter, bertemulah dengan dr. Ariesta dan dr.Ayu. Dokter yang terakhir disebut ini setahu saya awalnya berada di Sakina Idaman, kebetulan teman saya melahirkan anak pertamanya dengan beliau. Kesannya, “Aku lahiran anak kedua mau sama bidan aja deh, habis pas sama dr.Ayu gak sabaran”, katanya. So, coret juga ya…

Well, dengan dr.Ariesta ada satu kriteria utama yang saat itu membuat saya mau mencoba periksa: beliau ada dari Senin sampai Jumat di Sadewa. Dengan pregnancy goal saat itu yang berupa “melahirkan didampingi dokter kandungan”, maka jadwal praktek lima hari dalam seminggu memperbesar kemungkinan beliau ada di RS saat saya melahirkan, insya Alloh. Lucky me, jadwal praktek beliau jam 9 pagi sehingga suami masih bisa diminta antar kontrol.

Sejak pertama kontrol, tidak ada keluhan berarti dengan dr.Ariesta. Orangnya friendly, bisa menjawab pertanyaan yang saya ajukan, terlihat nyantai dan humoris. Beliau juga tegas, apalagi suaranya lumayan lantang. Sewaktu saya mengalami kesulitan dengan prosedur rujukan BPJS, beliau blak-blakan mengungkapkan “anehnya” dokter di faskes saya yang memintanya menulis notes terlebih dahulu. Untunglah bu dokter baik, jadinya tetap dibuatkan notes biar dokter umum di faskes saya tidak kebingungan.

Sewaktu janin saya terlilit tali pusar, dr.Ariesta lebih banyak menenangkan dengan meyakinkan saya that I didn’t  have to worry too much. Persalinan normal tetap dapat dilakukan, and I didn’t have to think about SC. Sampai-sampai tiap kali saya kontrol dan menanyakan soal lilitan tersebut, beliau bilang, “Saya kadang suka bingung, kasitau gak ya (kalau ada lilitan) soalnya jadi pada parno sih..”
Saat saya sudah di UGD karena sudah flek, beliau sempat menengok dan bertanya pada dokter jaga tentang kondisi saya dan menanyai saya tentang surat rujukan faskes. Saya cukup lega that she’s around and every progress I made beliau selalu dapat ditelpon oleh dokter jaga.

Keesokan harinya, dr.Ariesta sudah standby di ruang bersalin saat saya baru bukaan 7. Fiuhh… saya merasa tenang, karena janin saya kan terlilit tali pusar, jadi kalau ada apa-apa bisa langsung tindakan (walau akhirnya saya bersalin secara normal dan bayinya gak kelilit deh..). Pertanyaannya, apakah beliau galak? Enggak sih menurut saya, malah lebih galak bidan yang satunya deh…atau mungkin dokter lebih fokus ke tindakan ya, sementara bidan lebih memastikan kondisi pasien kondusif bagi dokter untuk mengeluarkan bayi.

Sewaktu saya mengejan setengah power, dr.Ariesta hanya berkata seperti ini, “Mbak, nanti kalau tiga kali ngeden nggak keluar, saya terpaksa harus operasi ya..” Well, nggak usah pake diomelin saya langsung ngedennya all out donk yaa..hahah…  Akhirnya sang baby pun lahir dengan selamat dan tidak lupa saya mengucapkan terima kasih pada beliau dan para bidan J

Saat kontrol jahitan pun beliau pun cek dalam dengan sangat pelan, karena saya bilang kalau saya paling takut hal tersebut and it always makes me scream a bit. Beberapa dokter pernah bereaksi seperti “plis deh” ditambah ekspresi rada “rolling eyes”, but she didn’t, neither did dr.Yasmini. Saya sangat menghargai dokter yang memahami pasiennya..

Kesimpulannya? Recommended.




0 komentar:

Post a Comment